Awal mula perjalanan kali ini adalah dalam rangka rutinitas menjemput pillion yang kebetulan bekerja di salah satu bank di Kota Bangkalan, Madura. Hari itu pada tanggal 15 Juni 2012 aku sengaja berangkat agak siang, agar nantinya bisa mampir dahulu di salah satu spot menarik ini di Bangkalan, Madura. Pukul 10.30 siang itu aku berangkat dari rumah, dengan estimasi nantinya dapat mampir di masjid Muhammad Cheng Ho, Pandaan, untuk menunaikan Sholat Jumat.
Setelah selesai sholat jumat, aku pun bergerak menuju Bangkalan dengan akses tol Suramadu. Jika kalian melalui tol Suramadu sisi Madura dari arah Surabaya, kalian akan melewati sebuah perempatan, jika ke arah kanan akan menuju Kwanyar, dan ke kirii menuju Labang. Nah, bermodalkan rasa penasaran, akhirnya aku memutuskan untuk belok ke kiri, ke arah Labang, sepertinya jalur ini bisa tembus ke sisi pantai barat Madura.
Putaran gas aku turunkan perlahan, dan aku pun berbelok ke kiri menuju arah Labang. Tanpa aku sadari, ternyata setelah belok ke kiri aspal pun habis! Sangat mendadak sekali, sehingga aku cukup kaget untuk menginjak rem. Maklum, karena masih belum pernah lewat jalur sini, serta terbiasa dengan kondisi aspal mulus di tol Suramadu, namun ketika belok aspal langsung habis. Tentu kebayang kan kagetnya?
Kondisi aspal yang langsung berubah drastis sedari mulus menjadi gravel batu kapur
Yap, gambaran berubah drastisnya dari aspal mulus menjadi gravel batu kapur tampak seperti foto diatas. Bagi aku, ini kali pertama melihat tanah yang seputih ini, bukan gamping sih, tapi sepertinya Madura memang memiliki jenis tanah yang berbeda dibanding tanah di Jawa.
Sejauh 5km kira-kira melalui jalur sepi ini hingga bertemu aspal pedesaan lagi
Gambaran secara umum saat melewati jalur ini seperti layaknya melewati savanna, sebnarnya bukan savanna sih, tapi lebih mirip ladang yang ditumbuhi rumput, sangat luas sekali, sehingga tampak sepertio savanna. 5 km aku melewati jalur ini, hingga nantinya bertemu kembali dengan jalan aspal desa.
Alexandra nampak retro abis dengan “lis putih” pada ban nya
Setelah melalui sekitar 5km jalur gravel kapur ini, akhirnya aku sampai juga di kecamatan Labang. Sebelumnya aku berfikir bahwa saat sampai di Labang nanti kondisi sudah mulai ramai, eh ternyata masih tetap sepi, jarak antar rumah satu dengan yang lain pun berjauhan. Hanya jalan aspal-lah yang membedakan.
Situasi jalanan di Kecamatan Labang, Madura
Kondisi kanan dan kiri pun tidak beda jauh, hanya kali ini rumput lebih tinggi, mirip semak-semak
Apabila kita bergerak terus kearah barat mengikuti jalur yang ada, kita akan tempus pada daerah Universitas Trunojoyo, lalu pertigaan jalan raya yang menghubungkan Pelabuhan Kamal dan Bangkalan. Sampai daerah ini sudah mulai ada keramaian, kondisi jalan pun semakin lebar. Lalu aku pun mengikuti petunjuk arah di jalan yang menuju Ujung Piring, yakni desa tempat Mercusuar Sembilangan berada. Kondisi jalan ternyata cukup menyusahkan, mirip dengan jalur kapur tadi, namun kali ini tanah sedikit lebih coklat.
Melewati pedesaan dan beberapa persimpangan
Cukup jauh ternyata menuju mercusuar dengan menerabas jalur Suramadu-Labang, hingga menuju lokasi mungkin menempuh jarak sekitar 25km. Kondisi yang sepi, melewati pedesaan, daerah bakau, meninggalkan perasaan tersendiri. Hingga akhirnya aku pun bisa melihat ujung Mercusuar Sembilangan.
Ujung mercusuar pun mulai terlihat
Segera aku mencari jalan untuk menuju ke mercusuar tersebut. Sempat menerabas ladang orang, setelah sampai baru tahu kalo ternyata ada jalan yg lebih lebar yg bisa dilewati..hahaha.
Akses masuk menjelang lokasi Mercusuar
papan nama Mercusuar Sembilangan
Dan inilah Mercusuar Sembilangan yang tersohor itu..
Berhubung banyak narasumber yang menyarankan agar berkunjung ke mercusuar ini serta naik ke atas adalah menjelang senja, dikarenakan sunset atau matahari tenggelam akan sangat indah sekali. Sempat ragu naik, karena aku seorang diri, namun tidak apa lah, lagian sudah sampai sini masak g jadi naik.
Lokasi asrama yag terletak di samping mercusuar, guna untuk beristirahat penjaga.
Pada asrama tersebut aku pun meminta izin pada penjaga mercusuar untuk naik ke atas, khawatir tidak diijinkan karena seorang diri, namun ternyata alhamdulillah aku diijinkan. Beliau bernama Bapak Ratno, pria 48th asal Jombang, Jawa Timur. Penjaga mercusuar yang sudah malang melintang menjaga mercusuar2 yang ada di jawa timur seperti Situbondo dan Banyuwangi, namun beliau masih 1 bulan menjaga mercusuar Sembilangan, Bangkalan, Madura. Sayang aku lupa untuk mengambil gambar bersama beliau.
Since 1879
Mercusuar sembilangan, atau warga sekitar menyebutnya dengan Lampu Ujung Piring ini telah berdiri sejak tahun 1879. Sudah berusia sangat tua sekali. Bangunan peninggalam kolonial Belanda ini masih berfungsi hingga sekarang, tugasnya adalah memandu kapal agar mengetahui arah menuju pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Sekedar informasi, mercusuar ini adalah titik paling barat dari pulau Madura, dan tepat diseberang adalah Gresik, Jawa Timur.
Mercusuar ini memiliki tinggi 56 meter, dan memiliki 15 lantai hingga menuju keatas. Sungguh terbayang betapa lelah dan sehat nya bukan? hehe. Dari segi konstruksi, mercusuar terdiri dari 2 rongga, rongga utama adalah rongga untuk manusia agar bisa naik keatas, dan rongga kedua adalah rongga untuk menaik/turunkan barang, letaknya di tengah atau sumbu mercusuar ini.
Rongga utama, pada lantai dasar mercusuar, tampak adalah tangga untuk menuju lantai 2
Ini adalah pintu menuju rongga kedua, rongga sebagai tempat mengirim logistik ke atas
Berikut penampakan rongga kedua atau logistik, selongsong ini masih jauh naik 56meter keatas
Baiklah, selanjutnya aku pun memulai langkah demi langkah untuk naik keatas. Gambaran kondisi dari lantai per lantai sama seperti gambar lantai dasar diatas, dengan tangga melengkung yang menghubungkan tiap lantainya.
Plat yang disambung menggunakan baut, jaminan kokohnya bangunan tua ini
Foto ini diambil dari lantai 4
Alas dari setiap lantainya berupa plat bordes seperti ini
Oiya, satu cerita, saat kita berada setengah jalan, lalu ada angin kencang yang menerpa mercusuar ini, suaranya sungguh mengerikan, gemuruh campur berdengung serta decitan besi seaka-akan mercusuar ini mau roboh. Jantung serasa mau copot..hahaha
Handicap tersulit, yap, saat menuju lantai 12, sepertinya anak tangga telah diganti, mungkin karena keropos, penggantinya sangat terjal dan kebayang untuk turun nanti bagemana
Lantai 14, sebagai akhir dari selongsong logistik pengirim barang dari lantai dasar
iyaak, dan akhirnya sampai juga di lantai 15, berikut adalah “teras” nya
So creepy here.. Seorang diri berada di ketinggian 56 meter, diiringi angin kencang serta suara gemuruh dari besi mercusuar yg terhempas angin. Namun disisi lain pemandangan yang disajikan sungguh luar biasa. Berikut langsung saja aku ceritakan dalam sekuel foto.
nun jauh disana menuju Tanjung Perak, Surabaya
Sisi selatan mercusuar, tampak beberapa tambak bakau
pemandangan di sisi timur
Mess atau asrama penjaga dilihat dari ketinggian 56 meter
Melirik sejenak ke “lantai 16” yang terkunci, tampak bohlam raksasa Mercusuar Sembilangan
Dinding kaca yang melindungi “lantai 16”
Sayang banyak tangan jahil disini, bahkan anak SD pun telah sampai kemari loh..
Dan sampailah kalian pada momen2 terindah, momen favoritku yang telah aku tunggu-tunggu, pemandangan sunset atau matahari terbenam. Beruntung sekali langit hari ini sangat bersih dan cerah, sehingga sunset pun bisa dinikmati dengan sempurna.
Barat mercusuar, sudut terindah pemandangan yg disajikan
mulai dari Kapal tongkang hilir mudik beralaskan senja
Hingga kapal kontainer, yang perlahan meninggalkan pulau jawa
Sang Solar Cell pun menutup harinya dengan damai, ia siap untuk bertugas esok seiring naiknya matahari
Setelah puas menikmati sunset, aku pun harus bergegas turun. Karena sesuai perkiraanku, pada setiap lantai di mercusuar ini tidak dilengkapi dengan lampu. maka akan sangat creepy sekali jika turun kebawah gelap-gelapan.
Dengan agak terburu-buru aku turun kebawah, berjumpa kembali dengan handicap lantai 12 tadi. Dalam hati aku hanya berpikir sesegera mungkin sampai lantai dasar, karena hari sudah semakin gelap. Serta berharap tidak berjumpa dengan yang aneh-aneh..hahahaha,, pliss..
Sampai juga di lantai dasar.. fiuh
Lega rasanya setelah sampai kembali dibawah. Aku pun segera menemui Pak Ratno, untuk meminta maaf apakah aku terlalu lama. Namun dengan ramah beliau menolak permintaan maafku, beliau berkata bahwa sampai malam pun sebenarnya tidak apa-apa, asal saya yang mendampingi.. hmm, terima kasih pak, jawabku dalam hati… hahahaha.. plis..
Disini beliau juga mengingatkan, bahwa daerah Ujung Piring merupakan daerah rawan rampok atau begal. Dan orang Madura terkenal sadis saat merampok. Beliau juga bercerita tentang pengalamannya dikejar rampok sesaat setelah keluar daerah mercusuar ini. Aku akui, cerita beliau cukup membuat aku keder malam itu.
Tak lama kemudian, aku pun segera bergegas pamit, sebelum nanti semakin malam dan semakin rawan. Terima kasih aku ucapkan pada bapak Ratno, tak lupa menyelipkan selembar uang kertas sebagai ucapan terima kasih karena telah memberi izin dan menunggu Alexandra di bawah dengan baik.
Aku pun bergegas meninggalkan lokasi dengan diiringi perasaan cemas. Cemas akan rampok atau begal layaknya cerita beliau. Kali ini aku menuju Kota Bangkalan, melewati rute arah utara. Beruntung kondisi jalan jauh lebih baik, sehingga aku bisa lancar menambah kecepatan.
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, aku pun sampai di kota Bangkalan pada pukul 18.30,dengan pintu keluar tepat depan terminal Bangkalan. Langsung aku menuju ke bank tempat pillion bekerja, ia nampak cemberut karena sepertinya aku datang terlambat… maapkan aku yaaa…
Numpang sholat maghrib dan beristirahat sebentar, lalu kita pun berangkat pulang kembali menuju Malang.
Fiuh… Sekian ceritaku tentang sekuel “Menggarami Pulau Garam”. Tetep nantikan cerita selanjutnya ya temans!